- Home >
- Biografi Tokoh dan Ulama , Cerita Hikmah dan Karomah >
- KISAH TELADAN DAN AHLAK HADRATUS SYEKH HASYIM
Posted by : Machsada
Tuesday, December 9, 2014
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah terjadi dialog yang mengesankan
antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Cholil
Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai
dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak
menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan
sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap
menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil
tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami
sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut
belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,”
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai
shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan
kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang
murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi.
Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah
kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling
menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para
murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat
termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh
penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus
pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah
cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU,
yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga
lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian
hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu
menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang
dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, KH
Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah
lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian
tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul
Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid
Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal
yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng
merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari
Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren
Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di
seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian
memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim.
Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah satu rahasia seorang murid bisa
berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah taat dan hormat kepada
gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan murid adalah
orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus berbakti
kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah
sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan
bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak
menurutinya). Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari
(Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri kepada KH Cholil Bangkalan,
Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim dididik akhlaknya.
Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi dan
kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput.
Ilmu yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu
teoretis, melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai murid, Kyai Hasyim tidak pernah
ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi dan kambing. Beliau
terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan) kepada guru.
Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila sang
guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni
keridoan guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai
Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil
Bangkalan.
Kalau anak santri sekarang dimodel
seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung keluar dari pondok. Anak
santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu teoretis. Mencari
ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya. Sementara
ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.
Suatu hari, seperti biasa Kyai Hasyim
setelah memasukkan sapi dan kambing ke kandangnya, Kyai Hasyim langsung
mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi, Kyai Hasyim melihat
gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu yang
mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk
bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH Cholil Bangkalan.
” Bagaimana tidak sedih, wahai muridku.
Cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi. Lalu masuk ke lubang
pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil dengan nada sedih.
Mendengar jawaban sang guru, Kyai Hasyim
segera meminta ijin untuk membantu mencarikan cincin yang jatuh itu dan
diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar mandi dan membongkar
septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya bagaimana
dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya
kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu
dan dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai
Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil
ditemukan.
Betapa riangnya sang guru melihat
muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu. Sampai terucap doa:
“Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan
ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar,
tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah doa yang keluar dari KH
Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya mustajab. Tiada
yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi ulama besar.
Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi
pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho
kepadanya.