- Home >
- Biografi Tokoh dan Ulama >
- KH IDHAM KHALID
Posted by : Machsada
Monday, December 8, 2014
Anggapan sebagian orang bahwa
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi massa
(ormas) Islam yang bercorak Jawa dan tersentralisasi di Pulau Jawa patut
diluruskan. Begitu pula dengan pameo yang menyebut bahwa pimpinan ormas
terbesar di Indonesia
tersebut mesti berdarah Jawa, terutama Jawa Timur, juga tidak tepat.
Doktor Kiai Haji Idham Chalid
(88) yang menghembuskan nafas terakhir pada Minggu pagi pukul0 8.00 WIB di
Cipete Jakarta Selatan merupakan fakta sejarah yang paling sahih untuk
mematahkan berbagai penilaian sepihak terhadap NU. Ulama kharismatis NU
tersebut bahkan telah menghilangkan dikotomi Jawa non-Jawa dalam konteks
politik nasional jauh-jauh hari sebelum banyak pihak memperbincangkannya, yakni
sejak tahun 1956 silam atau hanya berselang sembilan tahun setelah kemerdekaan
Indonesia.
Kiai Idham Chalid merupakan salah
satu tokoh terbesar yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. Semasa hidupnya, beliau
mencurahkan pengabdian bagi bangsa ini melalui NU, ormas Islam terbesar di Indonesia
maupun dunia, yang ia geluti sejak masih usia kanak-kanak. Kiai Idham yang
lahir pada tanggal 27 Agustus 1922 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian
tenggara Kalimantan Selatan, adalah anak sulung lima bersaudara dari H Muhammad Chalid.
Saat usianya baru enam tahun,
keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung
halaman leluhur ayahnya.
Idham tercatat sebagai tokoh
termuda yang pernah memimpin NU. Idham dipilih sebagai ketua umum Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tahun 1956. Saat itu usia Idham baru 34
tahun. Sebuah catatan dan prestasi yang fenomenal baik pada masa tersebut
maupun masa kini. Karir Idham di ormas yang didirikan ulama dan memiliki akar
kuat baik di pedesaan maupun di perkotaan tersebut terbilang sangat cemerlang.
Semasa kepemimpinan Idham di PBNU tidak pernah terjadi gejolak internal. Selain
itu kepemimpinan Idham di NU juga paling lama yaitu 28 tahun. Idham menjabat
ketua umum PBNU mulai tahun 1956 hingga 1984.
Sebagian kalangan mengatakan,
bila tidak ada gerakan kembali ke ?khittah 1926? yang dimotori KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) dkk, posisi Kiai Idham sebagai ketum PBNU tidak tergantikan. Khittah
menjadi senjata ampuh bagi poros Situbondo –istilah untuk untuk menyebut
gerakan yang dimotori Gus Dur– untuk melengserkan Kiai Idham dari tampuk
kepemimpinan di PBNU. Gerakan Khittah tersebut sempat membuat NU terbelah dan
menjadi dua poros besar yaitu Situbondo dan Cipete. Istilah Cipete merupakan
kediaman Kiai Idham dan merujuk pada pendukung Kiai Idham yang saat itu sangat
banyak dan loyal.
Bukan darah biru
Idham Chalid merupakan tokoh
besar bangsa Indonesia
yang telah memberikan teladan dan inspirasi. Beliau telah ikut meletakkan
dasar-dasar berbangsa dengan mewujudkan kebersamaan dan menghilangkan dikotomi
antara Jawa dan Luar Jawa. Andil Idham dalam membangun tatasan kehidupan
politik berbangsa yang harmonis tanpa diskriminasi, tidak lepas dari keberadaan
NU yang menghargai egalitarianisme serta memberikan kesempatan yang sama bagi
semua kader untuk memberikan kontribusi terbaiknya bagi NU.
Selain memberikan kesempatan
kepada Idham untuk menjadi ketua umum PBNU pada tahun 1956, jauh-jauh hari
sebelumnya NU sudah menghilangkan jarak pemisah antara Jawa dengan Luar Jawa
dengan menggelar Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan tahun 1936
atau sembilan tahun sebelum Indonesia merdeka. Penyelenggaraan Muktamar ke-11
di Banjarmasin pada tahun 1936 serta dipilihnya Idham Chalid menjadi ketua umum
PBNU pada Muktamar ke-21 di Luar Jawa, tepatnya di Medan, Sumatera Utara,
semakin mengukuhkan posisi NU sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia serta
meminjam istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai jangkar strategis
nasional.
Kepemimpinan Idham di PBNU selain
berdampak positif bagi iklim organisasi dengan mematahkan mitos Jawa dan Luar
Jawa juga menghapus mitos bahwa ketua umum PBNU harus memiliki darah biru. Darah
biru merupakan istilah dalam NU, yang dapat diartikan sebagai keturunan ulama
besar yang terpandang. Dalam tradisi NU di Jawa, biasanya dipanggil dengan
sebutan Gus. Uniknya, Idham selain bukan berasal dari Jawa juga bukan merupakan
anak ulama besar terpandang, bahkan di Kalimantan Selatan sekalipun. H Muhammad
Chalid, ayah Idham, hanya berprofesi sebagai penghulu di pelosok Amuntai, Hulu
Sungai Tengah, sekitar 200 km dari Banjarmasin.
Keluasan pergaulan, kemahiran
retorika serta kepiawan dalam melobi mengantarkan Idham sebagai tokoh besar
pemimpin nasional baik di masa Orde Lama maupun Orde Baru.
Dari bawah
Panggung politik baik dalam aras
nasional maupun global banyak dipengaruhi oleh faktor keturunan atau lebih
dikenal dengan istilah dinasti, tradisi fedalisme yang mewariskan kuasaan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi dinasti banyak ditemukan baik di Indonesia
maupun luar negeri. Bahkan di negara semodern Amerika Serikat pun masih banyak
ditemukan praktik dinasti. stilah dinasti tidak berlaku bagi Kiai Idham Chalid.
Idham merupakan sosok pemimpin yang terlahir secara alami dari bawah. Ia tidak
mengandalkan faktor dinasti maupun kekuatan materi, dua faktor terpenting dalam
berpolitik, dalam merintis karirnya yang panjang dan cemerlang.
Idham menjadi pemimpin besar
karena kapasitas personal, kegigihan dalam perjuangan serta kemauan keras untuk
memberikan sumbangsih terbaik bagi bangsa dan agama. Arif Mudatsir Mandan,
tokoh PPP yang juga penulis buku “Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid” mencatat
sosok Kiai Idham merupakan teladan bagi generasi muda NU dan bangsa Indonesia.
Beliau adalah sosok pemimpin besar yang lahir dari bawah. “Kiprah dan peran
Idham Chalid tergolong istimewa. Ia bukanlah sosok yang berasal dari warga kota besar. Ia hanyalah
putra kampung yang merintis karier dari tingkat yang paling bawah, sebagai guru
agama di kampungnya. Tapi kegigihannya dalam berjuang, dan kesungguhannya untuk
belajar dan menempa pribadi, telah mengantar dirinya ke puncak kepemimpinan
nasional yang disegani hingga kini, ujar Arif.
Kalangan pengamat politik Indonesia, banyak mencatat bahwa Idham Chalid
merupakan salah seorang dari sedikit politisi Indonesia yang mampu bertahan pada
segala cuaca.
Ia pernah menjadi Ketua Partai
Masyumi Amuntai, Kalimantan Selatan, dan dalam Pemilu 1955 berkampanye untuk
Partai NU. Ia pernah pula menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet
Ali-Roem-Idham, dalam usia yang masih sangat belia, 34 tahun. Sejak itu Idham
Chalid terus menerus berada dalam lingkaran kekuasaan.
Di organisasinya, ia dipercaya
warga nahdliyyin untuk memimpin NU di tengah cuaca politik yang sulit,
dengan
memberinya kepercayaan menjabat sebagai Ketua Umum Tanfidziah PBNU
selama 28
tahun (1956-1984). Di samping berada di puncak kekuasaan pimpinan NU, ia
juga
dipercaya menjadi Wakil Perdana Menteri II dalam Kabinet Ali
Sastroamidjojo
(PNI), 1956 -1957. Saat kekuasaan Bung Karno jatuh pada 1966, Idham
Chalid
yang dinilai dekat dengan Bung Karno ini tetap mampu bertahan. Presiden
Soeharto memberinya kepercayaan selaku Menteri Kesejahteraan Rakyat
(1967 -1970), Menteri Sosial Ad Interim (1970-1971) dan setelah itu
Ketua MPR/DPR RI
(1971-1977) dan Ketua DPA (1977-1983).
Ketika partai-partai Islam
berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, pada tanggal 5 Januari 1973, mantan
guru agama Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo ini menjadi ketua, sekaligus
Presiden PPP. Dari sisi wawasan keilmuwan dan kemahiran, sosok Idham Chalid
dikenal sebagai ulama yang mahir berbahasa Arab, Inggris, Belanda, dan Jepang.
Ia juga menyandang gelar doctor honoris causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo.
Idham Chalid merupakan khazanah yang tak ternilai bagi bangsa ini.
Mimpin NU 28 tanpa Gejolak
KH Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU
1999-2010 mengemukakan kekagumannya pada sosok Idham karena berhasil memimpin
PBNU selama 28 tahun. Selain kagum, Hasyim juga mengaku ‘iri’ pada Idham,
karena selama 28 tahun menjadi ketua umum PBNU tanpa ada gejolak berarti. “Sebagai
ketua umum PBNU, saya termasuk orang yang mengagumi beliau, karena memimpin NU
selama 28 tahun dan tidak ada gejolak dalam NU selama beliau memimpin. Ini sangat
sulit. Kalau saya, memimpin NU 8 tahun saja ruwetnya bukan main,” katanya.
sumber: gp-ansor.org