- Home >
- Sejarah dan Hikayat >
- SEJARAH NAHDATUL ULAMA dan PERJUANGAN HADRATUS SYEKH KYAI HASYIM
Posted by : Machsada
Tuesday, December 9, 2014
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi
dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim
berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping
Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH
Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim
belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan
gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah
pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam
selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi
Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah
menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.
Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan
praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua,
reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji
dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan
kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan
kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik
dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para
mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia
berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali
ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya
adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak
demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat
Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa
adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari
ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat
para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan
Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama
mazhab hanya akan menghasilkan pemutar balikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim
tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah
dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat
Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang
diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional),
dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering
disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya
adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung.
Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai
kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional
tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi
kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah
sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas
menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi.
Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926
menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok
tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam
membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang
terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim
diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung
bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk
memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan
Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke
mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan
keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun
1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri
atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut
Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk
memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka
Taswirul Afkar tampil sebagai kelompok studi serta lembaga pendidikan
yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh
utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah
(tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid
hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama
terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan,
pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu
Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi
Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam
yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat
sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan
Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto.
Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak
dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan
peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari
keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi
dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang
akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan
kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan
peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya,
membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH
Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu
Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang
pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud,
sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat
Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab
masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama,
yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil
menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul
Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi
yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat
istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu
belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin
berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana,
Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil
lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul
Arifin (kelak KH R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai
Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng
membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan
As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar.
”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya
lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi
pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim
masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad
kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai
Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil
menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan
ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya
menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah
Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu
sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat
hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa
gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan
organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat
istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari
1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul
Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai
Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan
anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan
hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham
pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham
bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh
antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan
praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali
doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola
pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi
masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh
para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh
KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide
Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi
menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam
pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang
tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh
tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para
Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan
kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim
dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode
tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang
tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200
meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak
tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang
lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari
bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren
Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak
bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat
menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun pesantren
Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri
tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan
hasil yang menggembirakan.
Kyai Hasyim kemudian menikah kembali
dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1)
Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul
Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh,
(10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh
wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri
Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari
pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1)
Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Jasa Bagi Indonesia
(Resolusi Jihad)
(Resolusi Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan dan Penjajahan Karena
pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi
perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk
merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda
kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah
jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena
perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai
Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama
secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi
bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian
mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi
penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai
Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah.
Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di
Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah
Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan
membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif
Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda
mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan
tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang
sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan
tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda
kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan
pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh
bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta
dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga
masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia
Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga
secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke
tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi
kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam,
Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai
upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang
adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan
kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei.
Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap
pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan
ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga
wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai Hasyim menolak aturan tersebut.
Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya,
Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari
penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan,
Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di
pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama
dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga
salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh,
segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum
total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh
tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke
Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan
dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes
dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga
berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam
menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di
Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara
NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh
pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris,
berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan
Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut.
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,
meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945
yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar
dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan
pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian
diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari
sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam
membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia
(Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi
umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am
(Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah,
Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal
dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah,
Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung
Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.