- Home >
- Sejarah dan Hikayat >
- ABU NAWAS PURA-PURA GILA
Posted by : Machsada
Wednesday, December 10, 2014
Siapakah Abu Nawas?
Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi,
tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang
dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M
di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia
belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui
padang pasir.
Karena pergaulannya itu
ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab", la
juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke
negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya
menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Mari kita mulai kisah
penggeli hati ini. Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad
bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu
sakit parah dan akhirnya meninggal dunia.
Abu Nawas dipanggil ke
istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu
sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir
tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tatacara memandikan
jenazah hingga mengkafani, menyalati dan mendo'akannya, maka Sultan
bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan
kedudukan bapaknya.
Namun... demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila.
Usai upacara pemakaman
bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan
diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu
sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya. Orang yang
melihat menjadi terheran-heran dibuatnya.
Pada hari yang lain ia
mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke
makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak
bermain rebana dan bersuka cita.
Kini semua orang semakin
heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah
menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.
Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas.
"Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana." kata wazir utusan Sultan.
"Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya."jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.
"Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu."
"Hai wazir, kau jangan
banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya
bersih dan segar." kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon
pisang yang dijadikan kuda-kudaan.
Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. "Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?" kata wazir
"Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau." kata Abu Nawas.
"Apa maksudnya Abu Nawas?" tanya wazir dengan rasa penasaran.
"Sudah pergi sana,
bilang saja begitu kepada rajamu." sergah Abu Nawas sembari menyaruk
debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.
Si wazir segera
menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu
Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.
Dengan geram Sultan
berkata,"Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja
tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka
rela ataupun terpaksa."
Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja.
Namun lagi-lagi di depan
raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkahnya ugal-ugalan tak
selayaknya berada di hadapan seorang raja.
"Abu Nawas bersikaplah sopan!" tegur Baginda.
"Ya Baginda, tahukah Anda....?"
"Apa Abu Nawas...?"
"Baginda... terasi itu asalnya dari udang !"
"Kurang ajar kau menghinaku Nawas !"
"Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?"
Baginda merasa
dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para
pengawalnya. "Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali"
Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar.
Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.
"Hai Abu Nawas! Tempo
hari ketika kau hendak masuk ke kota ini kita telah mengadakan
perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah
oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku
satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?"
"Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepada tadi?"
"lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?"
"Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!"
"Wan ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda."
Tanpa banyak cakap lagi
Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu
dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali.Tentu saja orang itu
menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila.
Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.
Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid.
"Ya, Tuanku Syah Alam,
ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang teiah
memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba
mohom keadilan dari Tuanku Baginda."
Baginda segera
memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas
berada di hadapan Baginda ia ditanya."Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah
memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali
pukulan?"
Berkata Abu Nawas,"Ampun Tuanku, hamba melakukannya karena sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu."
"Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebab musababnya kau memukuli orang itu?" tanya Baginda.
"Tuanku,"kata Abu
Nawas."Hamba dan penunggu pintu gerbang ini telah mengadakan perjanjian
bahwa jika hamba diberi hadiah oleh Baginda maka hadiah tersebut akan
dibagi dua. Satu bagian untuknya satu bagian untuk saya. Nah pagi tadi
hamba menerima hadiah dua puluh lima kali pukulan, maka saya berikan
pula hadiah dua puluh lima kali pukulan kepadanya."
"Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau telah mengadakan perjanjian seperti itu dengan Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Benar Tuanku,"jawab penunggu pintu gerbang.
"Tapi hamba tiada mengira jika Baginda memberikan hadiah pukulan."
"Hahahahaha Dasar tukang
peras, sekarang kena batunya kau!"sahut Baginda. "Abu Nawas tiada
bersalah, bahkan sekarang aku tahu bahwa penjaga pintu gerbang kota
Baghdad adalah orang yang suka narget, suka memeras orang! Kalau kau
tidak merubah kelakuan burukmu itu sungguh aku akan memecat dan
menghukum kamu!"
"Ampun Tuanku,"sahut penjaga pintu gerbang dengan gemetar.
Abu Nawas
berkata,"Tuanku, hamba sudah lelah, sudah mau istirahat, tiba-tiba
diwajibkan hadir di tempat ini, padahal hamba tiada bersalah. Hamba
mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu istirahat hamba sudah hilang karena
panggilan Tuanku. Padahal besok hamba harus mencari nafkah untuk
keluarga hamba."
Sejenak Baginda
melengak, terkejut atas protes Abu Nawas, namun tiba-tiba ia tertawa
terbahak-bahak, "Hahahaha...jangan kuatir Abu Nawas."
Baginda kemudian
memerintahkan bendahara kerajaan memberikan sekantong uang perak kepada
Abu Nawas. Abu Nawas pun pulang dengan hati gembira. Tetapi sesampai di
rumahnya Abu Nawas masih bersikap aneh dan bahkan semakin nyentrik
seperti orang gila sungguhan.
Pada suatu hari Raja
Harun Al Rasyid mengadakan rapat dengan para menterinya. "Apa pendapat
kalian mengenai Abu Nawas yang hendak kuangkat sebagai kadi?"
Wazir atau perdana
meneteri berkata,"Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya
maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi."
Menteri-menteri yang
lain juga mengutarakan pendapat yang sama. "Tuanku, Abu Nawas telah
menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi."
"Baiklah, kita tunggu
dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika
tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja."
Setelah lewat satu bulan
Abu Nawas masih dianggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat
orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.
Konon dalam seuatu
pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi
menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk
menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan
dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda
menyetujuinya.
Begitu mendengar Polan
diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan.
"Alhamdulillah aku telah terlepas dari balak yang mengerikan.
Tapi.,..sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak
yang lain saja."
Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini:
Pada suatu hari ketika
ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggii Abu Nawas
untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah
lemah lunglai.
Berkata bapaknya,"Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku."
Abu Nawas segera
menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya,
ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.
"Bagamaina anakku? Sudah kau cium?"
"Benar Bapak!"
"Ceritakankan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku itu."
"Aduh Pak, sungguh
mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali.
Tapi... yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?"
"Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?"
"Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini."
Berkata Syeikh Maulana
"Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang
seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak
suaka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi
(Penghulu). Jia kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hai
yang sama, namun jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan
yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi oleh Sultan Harun Al
Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun Al Rasyid pastilah tetap
memilihmu sebagai Kadi."
Nan, itulah sebabnya Abu
Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak
diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu
kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Walaupun Abu
Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang
Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke
istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang
aneh-aneh dan tidak masuk akal.