- Home >
- Sejarah dan Hikayat >
- ABU NAWAS : ASMARA PUTRA MAHKOTA
Posted by : Machsada
Thursday, December 11, 2014
Secara tak terduga
Pangeran yang menjadi putra mahkota jatuh sakit. Sudah banyak tabib yang
didatangkan untuk memeriksa dan mengobati tapi tak seorang pun mampu
menyembuhkannya. Akhirnya Raja mengadakan sayembara. Sayembara boleh
diikuti oleh rakyat dari semua lapisan. Tidak terkecuali oleh para
penduduk negeri tetangga.
Sayembara yang
menyediakan hadiah menggiurkan itu dalam waktu beberapa hari berhasil
menyerap ratusan peserta. Namun tak satu pun dari mereka berhasil
mengobati penyakit sang pangeran. Akhirnya sebagai sahabat dekat Abu
Nawas, menawarkan jasa baik untuk menolong sang putra mahkota.
Baginda Harun Al Rasyid
menerima usul itu dengan penuh harap. Abu Nawas sadar bahwa dirinya
bukan tabib. Dari itu ia tidak membawa peralatan apa-apa. Para tabib
yang ada di istana tercengang melihat Abu Nawas yang datang tanpa
peralatan yang mungkin diperlukan. Mereka berpikir mungkinkah orang
macam Abu Nawas ini bisa mengobati penyakit sang pangeran? Sedangkan
para tabib terkenal dengan peralatan yang lengkap saja tidak sanggup.
Bahkan penyakitnya tidak terlacak. Abu Nawas merasa bahwa seluruh
perhatian tertuju padanya. Namun Abu Nawas tidak begitu
memperdulikannya.
Abu Nawas dipersilakan memasuki kamar pangeran yang sedang terbaring. la menghampiri sang pangeran dan duduk di sisinya.
Setelah Abu Nawas dan
sang pangeran saling pandang beberapa saat, Abu Nawas berkata, "Saya
membutuhkan seorang tua yang di masa mudanya sering mengembara ke
pelosok negeri."
Orang tua yang
diinginkan Abu Nawas didatangkan. "Sebutkan satu persatu nama-nama desa
di daerah selatan." perintah Abu Nawas kepada orang tua itu.
Ketika orang tua itu
menyebutkan nama-nama desa bagian selatan, Abu Nawas menempelkan
telinganya ke dada sang pangeran. Kemudian Abu Nawas memerintahkan agar
menyebutkan bagian utara, barat dan timur. Setelah semua bagian negeri
disebutkan, Abu Nawas mohon agar diizinkan mengunjungi sebuah desa di
sebelah utara. Raja merasa heran.
"Engkau kuundang ke sini bukan untuk bertamasya." "Hamba tidak bermaksud berlibur Yang Mulia." kata Abu Nawas.
"Tetapi aku belum paham." kata Raja.
"Maafkan hamba, Paduka
Yang Mulia. Kurang bijaksana rasanya bila hamba jelaskan sekarang." kata
Abu Nawas. Abu Nawas pergi selama dua hari.
Sekembali dari desa itu
Abu Nawas menemui sang pangeran dan membisikkan sesuatu kemudian
menempelkan telinganya ke dada sang pangeran. Lalu Abu Nawas menghadap
Raja. "Apakah Yang Mulia masih menginginkan sang pangeran tetap hidup?"
tanya Abu Nawas.
"Apa maksudmu?" Raja balas bertanya.
"Sang pangeran sedang jatuh cinta pada seorang gadis desa di sebelah utara negeri ini." kata Abu Nawas menjelaskan.
"Bagaimana kau tahu?"
"Ketika nama-nama desa
di seluruh negeri disebutkan tiba-tiba degup jantungnya bertambah keras
ketika mendengarkan nama sebuah desa di bagian utara negeri ini. Dan
sang pangeran tidak berani mengutarakannya kepada Baginda."
"Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya Raja.
"Mengawinkan pangeran dengan gadis desa itu."
"Kalau tidak?" tawar Raja ragu-ragu.
"Cinta itu buta. Bila
kita tidak berusaha mengobati kebutaannya, maka ia akan mati." Rupanya
saran Abu Nawas tidak bisa ditolak. Sang pangeran adalah putra
satu-satunya yang merupakan pewaris tunggal kerajaan.
Abu Nawas benar. Begitu
mendengar persetujuan sang Raja, sang pangeran berangsur-angsur pulih.
Sebagai tanda terima kasih Raja memberi Abu Nawas sebuah cincin permata
yang amat indah.
Sumber : Kabarislam.com