- Home >
- Sejarah dan Hikayat >
- NASIRUDDIN: MENGHADAPI PENGUASA DIKTATOR
Posted by : Machsada
Thursday, December 11, 2014
Ketika
Timurleng menaklukkan Anatolia, ia mendengar tentang seorang laki-laki
yang bernama Nasruddin yang hidup di Akshehir. Timurleng pergi
keAkshehir, berkemah di situ dan kemudian mengirimkan satu peleton
serdadu untuk menjemput Nasruddin ke kemahnya.
"Mari, Nasruddin," kata salah seorang serdadu itu. "Sang Maharaja menunggu kamu, kamu ikutlah sekarang."
Nasruddin berpikir bahwa
karena Maharaja itu suka membunuh siapa saja yang ditemuinya, maka
tidak ada gunanya tergesa-gesa memenuhi undangan tersebut.
Ketika Timurleng
menyadari Nasruddin tidak mau segera datang, ia pun mengirim satu
peleton serdadu lagi untuk mengundang Nasruddin. Tetapi Nasruddin
berkata kepada mereka,
Timurleng menjadi tidak
sabar. Ia memerintahkan agar kudanya segera disiapkan. Ia segera
melompat ke kuda itu dan langsung melesat ke rumah Nasruddin di
pinggiran kota Akshehir.
"Baiklah aku akan segera datang." Namun setelah itu Nasruddin tidak juga datang ke tendanya.
Di desa itu para petani
mengerumuni Timurleng, dan beberapa orang di antara mereka yang berada
di sekitar rumah Nasruddin berteriak. "Nasruddin cepat-cepat kau!"
Nasruddin pun mengenakan
jubah dan serbannya yang besar dan berjalan mendekat Timurleng. Mereka
bertemu di sebuah jalan sempit dan kuda yang dinaiki Timurleng begitu
takut melihat tampang Nasruddin sehingga hewan itu melompat
tinggi-tinggi dan Maharaja pun terpental dari kudanya.
Timurleng menjadi marah
sehingga ia memerintahkan serdadu-serdadunya untuk menangkap Nasruddin
dan menggantungnya. Setelah ia ditangkap oleh para serdadu itu,
Nasruddin bertanya kepada mereka,
"Ke mana kalian ini akan membawa aku?"
"Untuk digantung" jawab mereka. .
"Coba kalian tanyakan kepada si Kurang Ajar itu" kata Nasruddin.
"Aku ingin tahu kenapa aku mesti digantung? Apa salahku?"
Para serdadu itu pun
pergi menemui Timurleng dan menyampaikan apa yang tadi dikatakan
Nasruddin. Mendengar itu Timurleng berkata,
"Bawa dia kemari!"
Nasruddin pun dibawa ke hadapan Timurleng, dan berkatalah ia kepada sang Maharaja,
"Apa gerangan salah saya, sehingga saya mesti digantung?"
"Kamu telah membawa nasib buruk bagiku" kata Timurleng.
"Siapa yang menyebabkan
nasib buruk itu, saya atau Baginda?" tanya Nasruddin. Timurleng terdiam,
tak dinyana ada seorang penduduk yang begitu beraninya berkata seperti
itu kepadanya.
"Bagindalah yang membawa
nasib buruk bagi saya, sebab saya ini akan digantung. Apabila saya yang
membawa nasib buruk itu, tentunya Baginda tadi jatuh dari kuda, pecah
kepalanya dan mati. Dan berdasarkan itu tentu ada alasan untuk kemudian
menggantung saya,"
Mendengar itu Timurleng
berpendapat bahwa alasan Nasruddin bisa diterima dan ia pun memutuskan
untuk memaafkannya. Tetapi ia mengatakan bahwa ia ingin sekali
menanyakan sesuatu kepada Nasruddin.
"Coba bilang aku ini seorang tiran atau seorang yang terpelajar?" bertanya ja kepada Nasruddin.
"Yang Mulia, jawab Nasruddin yang segera tanggap bahwa ia akan dijebak.
"Baginda bukan tiran dan
bukan juga seorang yang terpelajar. Kami semua inilah tiran-tiran yang
kejam, sehingga Tuhan telah mengutus Baginda untuk menghukum kami."
Sekali lagi Timurleng merasa sangat senang mendengar jawaban cerdas Nasruddin itu dan karenanya dia berkata,
"Baiklah, kalau begitu kamu bebas Nasruddin."
Beberapa waktu kemudian
Timurleng mulai mengenakan pajak yang sangat tinggi atas kota-kota dan
desa-desa di Turki. Karena mereka terdesak oleh keadaan ini semua
tetangga Nasruddin datang ke rumahnya dan salah seorang di antara mereka
berkata,
"Nasruddin kamu kan
sudah berhasil bersahabat dengan Timurleng. Cobalah datang kepada
maharaja itu dan mintalah agar beliau bisa mengurangi pajak yang
dikenakan atas desa kita ini."
Nasruddin pergi ke tenda Timurleng dan maharaja itu berkata,
"Selamat datang, Nasruddin, senang sekali aku ketemu kau lagi."
Setelah mereka berbincang-bincang beberapa lamanya. Nasruddin berkata kepada Timurleng,
"Yang Mulia, rakyat desa
saya sangat miskin. Maukah Yang Mulia mengurangi pajak yang dikenakan
atas mereka?" Setelah berpikir sejenak Timurleng berkata kepada
Nasruddin,
"Baiklah, ambil gajah
yang diikat diluar tenda dan kemudian suruh penduduk desamu itu memberi
makan gajahku dengan begitu mereka tidak usah rnembayar pajak."
Ketika Nasruddin kembali
ke desanya membawa gajah itu, seluruh penduduk desa itu merasa sangat
senang dengan cara pembayaran pajak yang baru itu. Tetapi dalam waktu
kira-kira lima belas hari, gajah itu telah memakan semua tanaman milik
petani dan para petani itu pun mulai merasa bahwa gajah tersebut
ternyata merupakan beban yang lebih berat dibandingkan dengan pajak yang
harus mereka bayar sebelumnya.
Mereka sekali lagi datang pada Nasruddin.
"Nasruddin tolong kau
kembalikan gajah ini pada Baginda Timurleng, dan biarlah kami membayar
pajak seperti yang dia putuskan dulu itu."
Nasruddin berpikir
sejenak mempertimbangkan masalah yang berbahaya ini dan kemudian dia
usul agar seluruh penduduk desa itu pergi bersamanya menemui Timurleng.
Mereka semua menyetujui usul itu dan mereka pun mengikuti Nasruddin
menuju ke tenda sang Maharaja.
Namun, ketika Nasruddin
sudah dekat ketenda, ia melihat ke sekeliling dan ternyata semua
penduduk desa yang mengikutinya itu sudah kabur karena takut kepada sang
Maharaja. Jadi, akhimya dia harus sendirian saja menghadapi Timurleng.
"Ada masalah apa, Nasruddin?" kata Timurleng.
"Hamba datang kemari
untuk menyatakan bahwa gajah yang telah Yang Mulia berikan kepada kami
ini merasa kesepian. Kami berharap agar baginda bisa memberikan kami
seekor gajah betina untuk menemaninya.. Namun Timurleng ternyata sudah
diberi tahu tentang penduduk desa yang kabur meninggalkan Nasruddin.
Maka berkatalah ia kepadanya,
"Aku telah mengetahui
apa yang telah diperbuat orang-orang itu terhadapmu, Nasruddin.
Seandainya mereka itu datang menemuiku, tentu permintaan mereka sudah
aku kabulkan. Tetapi lantaran mereka menipumu aku akan menghukum mereka.
Jadi, sekarang, Nasruddin, kamu boleh pergi."
Beberapa waktu kemudian ketika buah-buahan sudah ranum. Nasruddin berkata kepada istrinya,
"Ayo kita petik buah-buah yang sudah masak untuk kita bawa kepada Maharaja sebagai hadiah."
Mereka berdua pun pergi
ke kebun dan mulai mengumpulkan buah ara. Tetapi istrinya segera
mengatakan, "Nasruddin, lihat buah pir juga sudah masak. Baiknya kita
petik juga beberapa buah pir yang sudah masak sebagai hadiah bagi sang
Maharaja."
"Jangan," jawabnya.
"Kamu petik saja yang aku suruh petik. Jadi, petik saja buah ara yang sudah masak."
Beberapa saat kemudian istrinya berkata lagi,
"Lihat buah apel juga sudah masak. Barangkali sang Maharaja juga suka buah apel"
"Jangan, sudah kubilang
jangan," kata Nasruddin. Kamu petik saja apa yang telah aku katakan
tadi. Jadi, petik buah ara yang sudah masak."
Demikianlah, keduanya
mengisi keranjang mereka dengan buah ara yang sudah masakdan Nasruddin
pun membawanya ke tenda Timurleng lalu menaruhnya di depan tempat duduk
sang maharaja.
"Duduklah Nasruddin,
kata Timurleng sambil membuka keranjang. Maharaja pun memungut sebutir
buah ara dan melemparkarmya ke wajah Nasruddin. Kemudian ia mengambil
sebutir lagi dan melemparkannya ke wajah Nasruddin. Kemudian satu demi
satu ia mengambil semua buah ara yang ada di dalam keranjang, dan
melemparkannya kewajah Nasruddn. Setelah keranjang itu kosong sama
sekali Nasruddin memandang ke atas dan berkata,
"Terima kasih, Tuhan."
"Kenapa kau katakan itu?" tanya Timurleng.
"Yang Mulia," jawab
Nasruddin. Seandainya tadi hamba memetik juga buah-buahan yang telah
diusulkan oleh istri hamba, tentu sekarang ini hamba tidak lagi memiliki
kepala maupun mata. Hamba berterima kasih kepada Tuhan, karena hamba
telah menuruti jalan pikiran hamba sendiri, dan dengan demikian hanya
memetik buah ara matang yang lunak sebagai hadiah bagi Baginda."