- Home >
- Biografi Tokoh dan Ulama >
- KH MAHFUZH AMIN : PENDIRI PONDOK PESANTREN IBNUL-AMIN PAMANGKIH
KH. Mahfuz Amin putra tuan Guru H. Muhammad Ramli putra Tuan guru H.
Muhammad Amin. Ia adalah putra pertama dari Sembilan bersaudara,
pasangan Tuan guru H. Muhammad Ramli dan Hj. Malihah, Hj. Rapiah dan
terakhir Tuan guru H. Muhammad Zuhdi.
Mahfuz Amin dilahirkan di Pamangkih pada malam selasa tanggal 23 Rajab
1332 (sekitar tahun 1914 M) dirumah orang tuanya yang sederhana diasuh
dan dibesarkan di bawah pengawasan sehingga menjadi orang yang mulia dan
banyak berjasa.
Ia pertama kali dididik dan dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang
religius, sebab orang tuanya yang bernama H. Muhammad Ramli adalah ulama
berpengaruh dan dikenal mempunyai ilmu agama yang dalam. Tidak heran
kalau di Pamangkih, orang tua dari Tuan guru H. Muhammad Ramli yakni
Tuan guru H. Muhammad Amin di sebut Tuan guru besar, sedangkan Tuan guru
H. Muhammad Ramli dikenal dengan Tuan guru Tuha, karena ditangannyalah
kata putus dalam berbagai persoalan, baik yang menyangkut bidang agama
maupun problem sosial kemasyarakatan lainnya.
Dalam usia 6 tahun, ia sudah belajar al-Qur’an tahap pertama, di bawah
pengajaran langsung orang tuanya. Pendidikan formal ia tempuh di volk
School selama tiga tahun di Pamangkih yang kemudian dilanjutkan ke
Vervolk School selama 2 tahun di Desa Banua Kupang.
Selain itu beliau tidak pernah belajar di sekolah formal lainnya. Untuk
selanjutnya ia menempuh pendidikan nonformal berupa pengajian agama yang
diberikan oleh orang tuanya sendiri disamping mengikuti pengajian
dengan Tuan guru Muda H. Hasbullah putra H. Abdur Rahim di dekat Mesjid
Jami’ Pamangkih. Selain itu ia jiga belajar dengan Tuan guru H. Muhammad
Ali Bayangan dan Tuan guru H. Mukhtar di Desa Negara.
Tahu 1938, saat berusia 24 tahun ia berangkat ke tanah suci mekkah
al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji seraya memperdalam ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu agama.
Diantara guru-gurunya selama di kota Mekkah antara lain adalah :
- Syeikh Yasin al-Fadani
- Syeikh Abu Bakar Putra Sulaiman
- Syeikh al-‘Allamah Abdul Qadir al-Mandili
- Al-‘Allamah asy- Syeikh H. Muhammad Anang Sy’arani
- Syeikh Abdurrahman, Kelantan
- Syeikh Muhammad Nuh, Kelantan
- Syeikh Muhammad Ahyad putra Idris alpBughuri
- Syeikh Abdul Kaliq, Perak, Malaysia
- Syeikh KH. Abdul Jalil al-Maqdisi
- As-Sayyid Alawy putra Sayyid Abbas al-Maliki
- As-Sayyid Amin Kutbi
- Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath
- Syeikh Mukhtar, Ampenan
Setelah 3 tahun menimba ilmu pengetahuan di Tanah Suci, ia pulang ke
tanah air dan tepat pada tanggal 8 Oktober 1941 tiba kembali di kampung
kelahirannya. Sejak saat itu ia mulai mengajar agama sambil terus
belajar di samping aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan.
Setelah hamper 20 tahun berkecimpung dimasyarakat, bermacam pengetahuan
dan pengalaman telah diperoleh, pahit manisnya kehidupan telah dilalui,
namun cita-cita ingin menyebarkan dan ingin meninggikan agama Allah
tidak pernah padam. Hingga pada saatnya pada tahun 1958, fajar cita-cita
yang diidamkan mulai tebit bersinar di Desa Pamangkih.
Lembaran-lembaran kitab kuning yang mulai siran kembali cerah dengan
berdirinya sebuah pondok pesantren yang bernama “Ibnul Amin” yang belum
pernah sepertinya di Kalimantan pada umumnya.
Tidak berhenti sampai disitu, pada tahun1975 ia juga membangun pondok
pesantren Ibnul Amin Putri untuk mencetak kader-kader muslimah yang
shalehah.
Ia adalah sosok pribadi yang tidak pernah menyerah dalam berjuang baik
dalam masa pendidikan maupun dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan
ide-idenya. Teman belajarnya ketika masih belajar dengan orang tuanya
diantaranya Tuan Guru H. Mursyid atau lebih dikenal dengan H. Kabau
(orang tua dari Drs. Sa’dillah Mursyid MPA, mantan Mensekkab dan
Mensesneg) dan Tuan Guru H. Abdul Aziz, adiknya sendiri.
Kelebihannya terletak pada ketekunan dan kerajinan dalam mengulang kaji
sendiri (Muthalaah) , disamping itu pula beliau adalah orang yang sangat
menghargai waktu.
Walaupun ditengah kesibukan beliau dalam bekerja, karena tenaga dan
waktu beliau hampir semua tercurah pada pembangunan dan memajukan
pesantren yang beliau asuh, namun tidak berarti kesempatan menulis satu
dua buku untuk manunjang pelajaran di pondok beliau tertutup.
Terbukti ada 3 karya tulis beliau, satu yang menjadi pokok bahkan yang pertama kali harus dipelajari santri-santrinya ialah :
Kitab tashrib atau dikenal dengan tashrifan. Walaupun tidak dicetak
karena untuk membiasakan santri menulis dalam tahapan pertama. Kitab
tashrif ini selalu disalin oleh santri yang baru belajar.
Ringkasan sharaf yang berbahasa arabdengan nama : Mukhtasar Hallul Ma’qudi fi Nazhmil Masqud.
Untuk memudahkan santrinya dalam belajar ilmu falaq beliau ringkaskan
satu kitab falaq yang besar yang diberi nama : Al-Mahlulatu fi
Mukhtasari Manaahijil Hamiidiyyah.
Disamping berkiprah dibidang keagamaan beliau juga sangat memperhatikan
usaha mencerdaskan anak-anak di desanya. Hal ini terbukti dengan peran
beliau yang sangat besar dalam membangun sekolah umum (SR) pada tahun
1951.
Beliau menaruh perhatian secara khusus dalam bidang ilmu falaq, baik
mempelajari maupun mengajarkannya yang mana pada akhirnya beliau dikenal
orang sebagai ahli dibidang ilmu falakiyyah.
Keberhasilannya dalam belajar dikarenakan beliau sangat menghormati ilmu
yang didapat dari gurunya dalam arti penghormatan yang benar dalam
mengamalkan ilmu yang diperoleh tersebut. Beliau berhasil menularkan
ilmu kepada murid-muridnya yang kini telah tersebar dimana-mana. Kalu
dilihat masa belajar beliau memang relative singkat. Tiga tahun di
Mekkah dan beberapa tahun dalam asuhan orang tuanya, tetapi karena
kesungguhan beliau dalam mempelajari, menghormati dan mengamalkan ilmu
yang beliau dapat sehingga tampaklah keberkatan dan manfaat ilmu
pengetahuan yang dilikinya.
Beliau juga sangat menghormati guru-guruny, karena kalu seseorang sudah
menjadi terhormat dalam hidupnya kita selalu dituntut untuk selalu
menghormati guru, karena guru adalah orang yang mengangkat kita dari
bumi ke langit sedang orang tua kita menurunkan kita dari langit ke
bumi. Beliau selalu menziarahi guru-guru yang masih hidup minimal
setahun sekali dan sesudah meninggal beliau berziarah ke makamnya.
Hal lainnya yang menonjol dari kepribadiannya adalah kasih sayangnya
dengan para santri. Beliau menginginkan santrinya rajin dalam belajar
hingga berhasil dan dapat mengamalkan ilmu yang diperolehnya serta
pandai dalam menstranfer ilmunya kepada orang lain.
Siang dan lamam selalu berada di tengah-tengah santrinya. Kalau ada yang
bermain-main, beliau tegur dengan saran dan teguran yang lemah lembut
diiringi dengan nasehat, dan Nampak kegembiraan dimukanya ketika melihat
santrinya yang sedang belajar.
Beliau sangat dikenal dikalangan ulama, khususnya di Kalimantan. Di
samping selalu datang berkunjung kepada mereka, tak jarang kesempatan
itu digunakan untuk bertukar pikiran atau mudzakarah, lebih-lebih pada
masalah-masalah keagamaan. Beliau juga cukup dekat dan akrab dengan KH.
Hasyim asy-Ari, Jombang serta KH. Abdush Shomad Mufti kerajaan
Pontianak.
Beliau mempersilahkan siapa saja pejabat yang mau datang, menteri,
dirjen, gubernur sampai bupati pernah bertandang ke pesantren. Kalau
mereka ingin meberikan bantuan untuk pondok, beliau dengan senang hati
mau menerimanya, selama “tidak mengikat”. Walaupun demikian beliau tidak
pernah memohon kepada mereka dan tetap menjaga jarak. Prinsipnya adalah
selama pergaulan itu tidak mengganggu perjuangan beliau untuk kemajuan
pondok.
Kepada para kadernya beliau berpesan agar hidup untuk menghidupi pondok
bukan justru hidup di pondok. Beliau memang sosok pribadi istimewa,
istiqamah, disiplin, tawadhu’ dan disertai semangat ikhlas berkorban.
Tidak ada keinginan menggapai kemewahan duniawi. Bicara masalah dunia
saja beliau mengantuk. Untuk kepentingan agama, tidak segan-segan beliau
korbankan kepentingan sendiri. Beliau tebang kebun cengkeh milik
pribadi demi pembangunan Pondok Pesantren Ibnul Amin Putri. Bahkan
selama hidupnya, beliau tidak mempunyai kendaraan pribadi.
Demikianlah, selama 37 tahun berjuang untuk membangun serta membina
pondok pesantren Ibnul Amin dan santri-santrinya, dari hari kehari
lembaran hidupnya dihabiskan untuk lii’laai Kalimaatillaah hingga usai
senja.
Keuzuran tampak bertambah, sakit paru-paru beliau tambah hari tambah
parah meskipun pengobatan secara intensif selalu diupayakan. Dari RSI
Banjarmasin, Surabaya bahkan sampai Jakarta. Sampai pada saatnya, hari
minggu, jam 08.45 tanggal 21 Dzulhijjah 1415 H/21 Mei 1995 beliau
menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuan anak istri dan
murid-murid beliau dalam usia 82 tahun 4 bulan 28 hari.
Dikebumikan pada sore harinya dengan diantarkan oleh ribuan ummat islam
ke tempat peristirahatan terakhir pada jam 15.00 di pemakaman umum
Pamangkih bersampingan dengan orang tua beliau KH. Muhammad Ramli dan
keluarga.
Pamangkih berduka, derai tangis pun pecah. Para santri seolah tak kuasa
untuk bicara. Masyarakat terpana karena ditinggal oleh sang panutan yang
sangat berjasa untuk dunia pendidikan, khususnya di Kalimantan, untuk
selama-lamanya.