- Home >
- Biografi Tokoh dan Ulama >
- SUNAN AMPEL [RADEN RAHMATULLAH]
Posted by : Machsada
Monday, December 8, 2014
Kenalkah anda dengan daerah Bukhara? Bukhara ini terletak di Samarqand.
Sejak dahulu daerah Samarqand ini dikenal sebagai daerah Islam yang
menelorkan ulama-ulama besar seperti sarjana hadits terkenal yaitu Imam
Bukhari yang mashur sebagai pewaris hadits sahih.
Di Samarqand ini ada seorang ulama besar bernama Syekh Jamalluddin
Jumail Kubra, seorang Ahlussunnah bermahzab Syafi’i, beliau mempunyai
seorang putra bernama Ibrahim. Karena berasal dari Samarqand maka
Ibrahim kemudian mendapat tambahan Samarqandi. Orang Jawa sangat sukar
mengucapkan Samarqandi maka mereka hanya menyebutnya sebagai Syekh
Ibrahim Asmarakandi.
Syekh Ibrahim Asmarakandi ini diperintah oleh ayahnya yaitu Syekh
Jamalluddin Jumadil Kubra untuk berdakwah ke negara-negara Asia.
Perintah ini dilaksanakan, dan beliau kemudian diambil menantu oleh raja
Cempa, dijodohkan dengan putri raja Cempa yang bernama Dewi
Candrawulan.
Negeri Cempa ini menurut sebagian ahli sejarah terletak di Muangthai
(Thailand). Dari perkawinannya dengan Dewi Candrawulan maka Ibrahim
Asmarakandi mendapat dua orang putra yaitu Sayyid Ali Rahmatullah dan
Sayyid Ali Murtadho. Sedangkan adik Dewi Candrawulan yang bernama Dewi
Dwarawati diperistri oleh Prabu Brawijaya Majapahit. Dengan demikian
keduanya adalah keponakan Ratu Majapahit dan tergolong putra bangsawan
atau pangeran kerajaan. Para Pangeran atau bangsawan kerajaan pada waktu
itu mendapat gelar Rahadian yang artinya Tuanku, dalam proses
selanjutnya sebutan ini cukup dipersingkat Raden.
Raja Majapahit sangat senang mendapat istri dari negeri Cempa yang
wajahnya dan kepribadiannya sangat memikat hati. Sehingga istri-istri
lainnya diceraikan, banyak yang diberikan kepada para adipatinya yang
tersebar di seluruh Nusantara. Salah satu contoh adalah istri yang
bernama Dewi Kian, seorang putri Cina yang diberikan kepada Adipati Ario
Damar di Palembang.
Ketika Dewi Kian diceraikan dan diberikan kepada Ario Damar saat itu
sedang hamil tiga bulan. Ario Damar tidak diperkenankan menggauli putri
Cina itu sampai si jabang bayi terlahir ke dunia. Bayi dari rahim Dewi
Kian itulah yang nantinya bernama Raden Hasan atau lebih dikenal dengan
nama Raden Patah, salah seorang murid Sunan Ampel yang menjadi raja di
Demak Bintoro.
Kerajaan Majapahit sesudah ditinggal Mahapatih Gajah Mada dan Prabu
Hayam Wuruk mengalami kemunduran drastis. Kerajaan terpecah belah karena
terjadinya perang saudara, dan para adipati banyak yang tak loyal lagi
kepada keturunan Prabu Hayam Wuruk yaitu Prabu Brawijaya.
Pajak dan upeti kerajaan tak banyak yang sampai ke istana Majapahit.
Lebih sering dinikmati oleh para adipati itu sendiri. Hal ini membuat
Prabu bersedih hati. Lebih-lebih lagi dengan adanya kebiasaan buruk kaum
bangsawan dan para pangeran yang suka berpesta pora dan main judi serta
mabuk-mabukan. Prabu Brawijaya sadar betul bila kebiasaan semacam itu
diteruskan negara akan menjadi lemah dan jika negara sudah kehilangan
kekuatan betapa mudahnya bagi musuh untuk menghancurkan Majapahit Raya.
Ratu Dwarawati, yaitu istri Prabu Brawijaya mengetahui kerisauan hati
suaminya. Dengan memberanikan diri dia mengajukan pendapat kepada
suaminya. “Saya mempunyai seorang keponakan yang ahli mendidik dalam hal
mengatasi kemerosotan budi pekerti,” kata ratu Dwarawati.
“Betulkah?” tanya sang Prabu. “Ya namanya Sayyid Ali Rahmatullah. Putra
dari kanda Dewi Candrawulan di negeri Cempa. Bila kanda berkenan saya
akan meminta Ramanda Prabu di Cempa untuk mendatangkan Ali Rahmatullah
ke Majapahit ini”.
“Tentu saja aku akan merasa senang bila Rama Prabu di Cempa bersedia
mengirimkan Sayyid Ali Rahmatullah ke Majapahit ini”, kata Raja
Brawijaya.
Ke Tanah Jawa
Maka pada suatu hari diberangkatkanlah utusan dari
Majapahit ke negri Cempa untuk meminta Sayyid Ali Rahmatullah datang ke
Majapahit. Kedatangan utusan Majapahit disambut gembira oleh Raja Cempa,
dan raja Cempa tidak keberatan melepas cucunya ke Majapahit untuk
meluaskan pengalaman.
Keberangkatan Sayyid Ali Rahmat ke Tahan Jawa tidak sendirian. Ia
ditemani oleh ayah dan kakaknya sebagaimana disebutkan di atas. Ayah
Sayyid Ali Rahmat adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan kakaknya
bernama Sayyid Ali Murtadho. Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit,
melainkan mendarat di Tuban. Tetapi di Tuban, tepatnya di desa
Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal
dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan
Palang Kabupaten Tuban.
Sayyid Murtadho kemudian meneruskan perjalanan, beliau berdakwah
keliling ke daerah Nusa Tenggara, Madura dan sampai ke Bima. Di sana
beliau mendapat sebutan raja Pandita Bima, dan akhirnya berdakwah di
Gresik mendapat sebutan Raden Santri, beliau wafat dan dimakamkan di
Gresik. Sayyid Ali Rahmatullah meneruskan perjalanan ke Majapahit
menghadap Prabu Brawijaya sesuai permintaan Ratu Dwarawati.
Kapal layar yang ditumpanginya mendarat di Pelabuhan Canggu.
Kedatangannya disambut dengan suka cita oleh Prabu Kertabumi. Lebih
lebih lagi Ratu Dwarawati bibinya sendiri, wanita itu memeluknya erat
erat seolah sedang memeluk kakak perempuannya yang berada di istana
Kerjaan Cempa. Wajah keponakannya itu memang mirip dengan kakak
perempuannya.
“Nanda Rahmatullah, bersediakah engkau memberikan pelajaran atau
mendidik kaum bangsawan dan rakyat Majapahit agar mempunyai budi pekerti
mulia?” tanya sang Prabu setelah Sayyid Rahmatullah beristirahat
melepas lelah. Dengan sikapnya yang sopan santun tutur kata yang halus
Sayyid Ali Rahmatullah menjawab,”Dengan senang hati Gusti Prabu, saya
akan berusaha sekuat-kuatnya untuk mencurahkan kemampuan saya mendidik
mereka”.
“Bagus!” sahut sang Prabu. “Bila demikian kau akan kuberi hadiah
sebidang tanah berikut bangunannya di Surabaya. Di sanalah kau akan
mendidik para bangsawan dan pageran Majapahit agar berbudi pekerti
mulia”.
“Terima kasih saya haturkan Gusti Prabu”,” jawab Sayyid Ali Rahmatullah.
Disebutkan dalam literatur bahwa selanjutnya Sayyid Ali Rahmatullah
menetap beberapa hari di istana Majapahit dan dijodohkan dengan salah
putri Majapahit yang bernama Dewi Candrowati atau Nyai Ageng Manila.
Dengan demikian Sayyid Ali Rahmatullah adalah salah seorang Pangeran
Majapahit, karena dia adalah menantu raja Majapahit.
Semenjak Sayyid Ali Rahmatullah diambil menantu Raja Brawijaya, maka
beliau adalah anggota keluarga kerajaan Majapahit atau salah seorang
pangeran. Para pangeran pada jaman dulu ditandai dengan nama depan
Rahadian atau Raden yang berarti Tuanku. Selanjutnya beliau lebih
dikenal dengan sebutan Raden Rahmat.
Ampeldenta
Selanjutnya, pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan
Raden Rahmat ke sebuah daerah di Surabaya yang kemudian disebut dengan
Ampeldenta.
Rombongan itu melalui desa Krian, Wonokromo terus memasuki
Kembangkuning. Selama dalam perjalanan beliau juga berdakwah kepada
penduduk setempat yang dilaluinya. Dakwah yang pertama kali dilakukannya
cukup unik. Beliau membuat kerajinan berbentuk kipas yang terbuat dari
akar tumbuh-tumbuhan tertentu dan dianyam rotan. Kipas-kipas itu
dibagi-bagikan kepada penduduk setempat secara gratis. Para penduduk
hanya cukup menukarkannya dengan kalimah syahadat.
Penduduk yang menerima kipas itu merasa sangat senang. Terlebih setelah
mereka mengetahui kipas itu bukan sembarang kipas, akar yang dianyam
bersama rotan itu ternyata berdaya penyembuh bagi mereka yang terkena
penyakit batuk dan demam. Dengan cara itu semakin banyak orang yang
berdatangan kepada Raden Rahmat. Pada saat demikianlah ia memperkenalkan
keindahan agama Islam sesuai tingkat pemahaman mereka.
Cara itu terus dilakukan hingga rombongan memasuki desa Kembangkuning.
Pada saat itu wilayah desa Kembangkuning belum seluas sekarang ini. Di
sana-sini masih banyak hutan dan digenangi air atau rawa-rawa. Dengan
karomahNYA, Raden Rahmat bersama rombongan membuka hutan dan mendirikan
tempat sembahyang sederhana atau langgar. Tempat sembahyang tersebut
sekarang telah dirubah menjadi Masjid yang cukup besar dan bagus,
dinamakan sesuai dengan nama Raden Rahmat yaitu Masjid Rahmat
Kembangkuning.
Di tempat itu pula Raden Rahmat bertemu dan berkenalan dengan dua tokoh
masyarakat yaitu: Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Kedua tokoh
masyarakat itu bersama keluarganya masuk Islam dan menjadi pengikut
Raden Rahmat.
Dengan adanya kedua tokoh masyarakat itu maka semakin mudah bagi Raden
Rahmat untuk mengadakan pendekatan kepada masyarakat sekitarnya.
Terutama kepada masyarakat yang masih memegang teguh adat kepercayaan
lama. Beliau tidak langsung melarang mereka, melainkan memberi
pengertian sedikit demi sedikit tentang pentingnya ajaran ketauhidan.
Jika mereka sudah mengenal tauhid atau keimanan kepada Tuhan Pencipta
Alam, maka secara otomatis mereka akan meninggalkan sendiri kepercayaan
lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah sampai di tempat tujuan, pertama kali yang dilakukannya adalah
membangun Masjid sebagai pusat kegiatan ibadah. Ini meneladani apa yang
telah dilakukan Nabi Muhammad saw saat pertama kali sampai di Madinah.
Dan karena beliau menetap di desa Ampeldenta, menjadi penguasa daerah
tersebut maka kemudian beliau dikenal sebagai Sunan Ampel. Sunan berasal
dari kata Susuhunan, artinya Yang dijunjung Tinggi atau panutan
masyarakat setempat. Ada juga yang mengatakan Sunan berasal dari kata
Suhu Nan artinya Guru Besar atau Orang Yang Berilmu Tinggi.
Selanjutnya beliau mendirikan pesantren tempat mendidik putra bangsawan
dan pangeran Majapahit serta siapa saja yang mau datang berguru kepada
beliau.
Ajarannya yang terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal adalah falsafah Moh Limo atau Tidak Mau Melakukan Lima Hal tercela yaitu:
1. Moh Main atau Tidak Mau Berjudi2. Moh Ngombe atau Tidak Mau Minum
Arak atau Bermabuk-mabukan3. Moh Maling atau Tidak Mau Mencuri4. Moh
Madat atau Tidak Mau Menghisap candu, ganja dan lain-lain5. Moh Madon
atau Tidak Mau Berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas hasil didikan Raden Rahmat. Raja
menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi pekerti yang mulia, maka
ketika Raden Rahmat kemudian mengumumkan ajarannya adalah agama Islam
maka Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, hanya saja ketika dia diajak
untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden Rahmat diperbolehkan menyiarkan agama Islam di wilayah Surabaya
bahkan di seluruh wilayah Majapahit, dengan catatan bahwa rakyat tidak
boleh dipaksa. Raden Rahmat pun memberi penjelasan bahwa tidak ada
paksaan dalam beragama.
Sesepuh Walisongo
Setelah Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat, maka Sunan Ampel diangkat
sebagai sesepuh Walisongo, sebagai Mufti atau pemimpin agama Islam se
Tanah Jawa. Beberapa murid dan putra Sunan Ampel sendiri juga menjadi
anggota Walisongo, mereka adalah: Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan
Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Sunan Kota atau Raden Patah, Sunan
Kudus, Sunan Gunungjati.
Raden Patah atau Sunan Kota memang pernah menjadi anggota Walisongo
menggantikan kedudukan salah seorang wali yang meninggal dunia. Dengan
diangkatnya Sunan Ampel sebagai sesepuh maka para wali lain tunduk patuh
kepada kata-katanya. Termasuk fatwa beliau dalam memutuskan peperangan
dengan pihak Majapahit.
Para wali yang lebih muda menginginkan agar tahta Majapahit direbut
dalam tempo secepat-cepatnya. Tetapi Sunan Ampel berpendapat bahwa
masalah tahta Majapahit tidak perlu diserang secara langsung, karena
kerajaan besar itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam. Tak usah
diserang oleh Demak Bintoro pun sebenarnya Majapahit akan segera runtuh.
Para wali yang lebih muda menganggap Sunan Ampel telah lamban dalam
memberikan nasehat kepada Raden Patah.
“Mengapa Ramanda berpendapat demikian?” tanya Raden Patah terhitung
menantunya sendiri. “Karena aku tidak ingin di kemudian hari ada orang
menuduh Raja Demak Bintoro yang masih putra Majapahit Prabu Kertabumi
telah berlaku durhaka yaitu berani menyerang ayahandanya sendiri”, jawab
Sunan Ampel dengan tenang.
“Lalu apa yang harus saya lakukan?” “Kau harus sabar menunggu sembari
menyusun kekuatan,” ujar Sunan Ampel. “Tak lama lagi Majapahit akan
runtuh dari dalam. Diserang adipati lain. Pada saat itulah kau berhak
merebut hak warismu selaku putra Prabu Kertabumi”.
“Majapahit diserang adipati lain? Apakah saya tidak berkewajiban
membelanya?” “Inilah ketentuan Tuhan,” sahut Sunan Ampel. “Waktu
kejadiannya masih dirahasiakan. Aku sendiri tidak tahu persis kapankah
peristiwa itu akan berlangsung. Yang jelas bukan kau adipati yang
menyerang Majapahit itu”, Sunan Ampel adalah Penasehat Politik Demak
Bintoro. Sekaligus merangkap Pemimpin Walisongo atau Mufti Agama
se-Tanah Jawa. Maka fatwanya dipatuhi banyak orang.
Kekuatiran Sunan Ampel tersebut memang terbukti. Di kemudian hari
ternyata ada orang-orang pembenci Islam memutarbalikkan fakta sejarah.
Mereka menuliskan bahwa Majapahit jatuh diserang oleh kerajaan Demak
Bintoro yang Rajanya adalah putra Raja Majapahit sendiri. Dengan
demikian Raden Patah dianggap sebagai Anak Durhaka. Ini dapat anda lihat
di dalam Serat Darmo Gandul maupun sejarah yang ditulis para Sarjana
yang membenci Islam.
Raden Patah dan para wali lainnya akhirnya tunduk patuh pada fatwa Sunan
Ampel. Tibalah saatnya Sunan Ampel wafat pada tahun 1478. Sunan
Kalijaga diangkat sebagai penasehat bagian politik Demak. Sunan Giri
diangkat sebagai pengganti Sunan Ampel sebagai Mufti, pemimpin para Wali
dan pemimpin agama se-Tanah Jawa. Sesepuh yang selalu dimintai
pertimbangannya. Setelah Sunan Giri diangkat sebagai Mufti sikapnya
terhadap Majapahit sekarang berubah. Ia menyetujui usul Aliran Tuban
untuk mencari fatwa kepada Raden Patah agar menyerang Majapahit.
Mengapa Sunan Giri bersikap demikian? Karena pada tahun 1478 Kerajaan
Majapahit diserang oleh Prabu Rana Wijaya atau Girindrawardhana dari
Kadipaten Kediri atau Keling. Dengan demikian sudah tepatlah jika Sunan
Giri menyetujui penyerangan Demak atas Majapahit. Sebab pewaris sah
tahta kerajaan Majapahit adalah Raden Patah selaku putera Raja Majapahit
yang terakhir.
Demak kemudian bersiap-siap menyusun kekuatan. Namun belum lagi serangan
dilancarkan, Prabu Rana Wijaya keburu tewas diserang oleh Prabu Udara
pada tahun 1498.
Pada tahun 1512, Prabu Udara selaku Raja Majapahit merasa terancam
kedudukannya karena melihat kedudukan Demak yang didukung Sunan Giri
Kedaton semakin kuat dan mapan. Prabu Udara kawatir jika terjadi
peperangan akan menderita kekalahan, maka dia minta bekerjasama dan
minta bantuan Portugis di Malaka. Padahal Putera Mahkota Demak yaitu
Pati Unus pada tahun 1511 telah menyerang Portugis di Malaka.
Sejarah mencatat bahwa Prabu Udara telah mengirim utusan ke Malaka untuk
menemui Alfonso d’Albuquerque untuk menyerahkan hadiah berupa 20 genta
(gamelan), sepotong kain panjang bernama Beirami tenunan Kambayat, 13
batang lembing yang ujungnya berbesi dan sebagainya. Maka tidak salah
jika pada tahun 1517 Demak menyerang Prabu Udara yang merampas tahta
Majapahit secara tidak sah. Dengan demikian jatuhlah Majapahit ke tangan
Demak. Seandainya Demak tidak segera menyerang Majapahit tentu bangsa
Portugis akan menjajah tanah Jawa jauh lebih cepat daripada bangsa
Belanda. Setelah Majapahit jatuh pusaka kerajaan diboyong ke Demak
Bintoro. Termasuk Mahkota Rajanya. Raden Patah diangkat sebagai Raja
Demak yang pertama.
Sunan Ampel juga turut membantu mendirikan Masjid Agung Demak yang
didirikan pada tahun 1477 M. Salah satu di antara empat tiang utama
Masjid Demak hingga sekarang masih diberi nama sesuai dengan yang
membuatnya yaitu Sunan Ampel.
Beliau pula yang pertama kali menciptakan Huruf Pegon atau Tulisan Arab
berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf pegon ini beliau dapat menyampaikan
ajaran-ajaran Islam kepada muridnya. Hingga sekarang huruf pegon tetap
dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan pesantren.
Penyelamat Akidah
Sikap Sunan Ampel terhadap adat istiadat lama sangat berhati-hati, hal
ini didukung oleh Sunan Giri dan Sunan Drajad. Seperti yang pernah
tersebut dalam permusyawaratan para wali di Masjid Agung Demak. Pada
waktu itu Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat Jawa seperti
selamatan, bersaji, kesenian wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
Mendengar pendapat Sunan Kalijaga tersebut bertanyalah Sunan Ampel
“Apakah tidak mengkawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan
upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama
Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi bid’ah.?”
Dalam musyawarah itu Sunan Kudus menjawab pertanyaan Sunan Ampel,”Saya
setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga, bahwa adat istiadat lama yang
masih bisa diarahkan kepada agama Tauhid maka kita akan memberinya warna
Islam. Sedang adat dan kepercayaan lama yang jelas-jelas menjurus
kearah kemusyrikan kita
tinggal sama sekali. Sebagai misal gamelan dan
wayang kulit, kita bisa memberinya warna Islam sesuai dengan selera
masyarakat. Adapun tentang kekawatiran Kanjeng Sunan Ampel, saya
mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari akan ada orang yang
menyempurnakannya.”
Sebaliknya, adanya pendapat Sunan Ampel yang menginginkan Islam harus
disiarkan dengan murni dan konsekuen juga mengandung hikmah kebenaran
yang hakiki, sehingga membuat ummat semakin berhati-hati menjalankan
syariat agama secara benar dan bersih dari segala macam bid’ah. Inilah
jasa Sunan Ampel yang sangat besar, dengan peringatan inilah beliau
telah menyelamatkan aqidah ummat agar tidak tergelincir ke lembah
musyrik.
Murid-murid Sunan Ampel
Murid-murid Sunan Ampel itu banyak sekali, baik dari kalangan bangsawan
dan para pangeran Majapahit maupun dari kalangan rakyat jelata. diantara nya Mbah Sholeh dan Sonhaji
Bahkan Walisongo adalah murid-murid dan kerabat beliau sendiri.
Bahkan Walisongo adalah murid-murid dan kerabat beliau sendiri.