- Home >
- Sejarah dan Hikayat >
- ABU NAWAS, AL- AMIN DAN AL- MA"MUN
Posted by : Machsada
Thursday, December 11, 2014
Baginda Raja Harun Al
Rasyid mempunyai dua orang putra dari permaisurinya. Pertama bernama Al
Amin yang kedua bernama Al Ma'mun. Al Amin ternyata sangat bodoh dan
pemalas. Sedang Al Ma'mun terkenal rajin dan pintar dalam bidang ilmu
sastra. Raja sangat menyukai Al Ma'mun karena kecerdasannya tersebut.
Ini tentu membuat sang permaisuri tidak suka, lantaran sang Raja
dianggap pilih kasih. Padahal keduanya sama-sama putranya. "Suamiku
kenapa Anda tidak begitu menyayangi Al Amin?" tanya sang permaisuri
Zubaidah.
"Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal dengan ilmu sastra," jawab sang Raja.
"Suamiku, sebenamya kalau mau Al Amin akan lebih menguasai ilmu sastra
daripada saudaranya. Sebenamya ia lebih cerdas. ia hanya malas saja,"
kata sang permaisuri mencoba membela Al Amin.
"Apa buktinya?."
"Baik, tidak lama lagi Anda akan melihat buktinya." Pada suatu siang sang permaisuri memanggil putranya Al Amin.
"Aku baru saja berdebat dengan ayahmu mengenai dirimu," kata sang
permaisuri kepada putranya tersebut. "Aku tidak rela kamu dipandangnya
sebelah mata dan dibanding-bandingkan dengan kakakmu. Karena itu kamu
harus bisa menandinginya. Mulai sekarang kamu harus tekun rnempelajari
ilmu sastra, supaya menjadi seorang penyair yang hebat."
Sorenya Al Amin pergi meninggalkan istana rnenuju ke sebuah tempat yang
sepi. Di tempat itulah ia mencoba mengasah pikirannya yang bebal. Ia
berusaha menulis bait-bait syair tanpa seorang guru atau tanpa bimbingan
siapapun. Beberapa minggu kemudian setelah merasa mampu rnenguasai ilmu
sastra dan menulis bait-bait syair, Al Amin pulang ke istana.
"Jadi kamu sekarang sudah bisa menulis syair, putraku?" tanya sang
permaisuri Zubaidah ketika menyambut kedatangan putranya tersebut dengan
gernbira.
"Sudah," jawab Al Amin.
"Kalau begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk menguji karya syairmu."
Esoknya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.
"Abu Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putraku ini," kata sang permaisuri dengan bangga.
"Baik, silahkan," kata Abu Nawas.
Al Amin lalu mernbacakan beberapa bait syair sebagai berikut
"Kami adalah keturunan Bani Abbas. Kami duduk di atas kursi"
Abu Nawas hampir tidak sanggup menahan tawanya mendengar syair tersebut.
"Bagaimana?" tanya Al Amin kepada Abu Nawas.
"Ya, begitulah. Kalian memang dari keturunan yang mulia," jawab Abu Nawas ngeledek.
"Tapi coba teruskan."
"Kami berperang Dengan pedang dan tombak pendek."
"Syair macam apa itu celutuk Abu Nawas yang sudah tidak mau berbasa-basi
lagi. Al Amin marah sekali mendengar cemooh Abu Nawas tersebut, ia lalu
menyuruh seorang pasukan istana untuk menangkap dan memasukkan Abu
Nawas ke dalam penjara.
Selama beberapa hari Abu Nawas tidak pernah muncul di istana, sehingga
Raja Harun Al Rasyid merasa rindu. Belakangan sang Raja mendengar khabar
bahwa Abu Nawas dimasukkan penjara oleh Al Amin.
Ia kemudian mengajak putranya itu ke penjara untuk menjenguk Abu Nawas.
"Kenapa kamu memenjarakannya?" tanya sang Raja. Al Amin kemudian menceritakan semuanya.
"Yang sangat menyakitkan ia telah berani mencemooh syair karyaku, ayahanda," kata Al Arnin.
"Tentu saja karena rnemang karya syairmu jelek.
Dia itu kan memang seorang penyair hebat. Jadi bisa menilai mana karya
syair yang bagus dan yang tidak bagus. Lagi pula apa yang ia katakan itu
jangan kamu anggap sebagai ejekan, melainkan sebuah kritikan yang harus
kamu terima dengan lapang dada," kata sang Raja menasihati.
"Baik. Kalau begitu beri lagi aku kesempatan waktu untuk memperbaiki karya syairku, kata Al Amin sambil beranjak pergi.
Untuk kedua kalinya Al Amin pergi ke tempat yang sepi guna mengasah
pikiran dan mendalami ilmu sastra agar bisa menulis syair yang
benar-benar bagus, tidak seperti sebelumnya, Dan beberapa pekan kemudian
ia sudah pulang ke istana.
Esoknya pagi-pagi sekali baginda Raja Harun Al Rasyid, Abu Nawas, dan
beberapa penyair sudah berada di istana. Rupanya pertemuan itu sudah
diatur oleh sang permaisuri Zubaidah beliau ingin mereka mendengarkan
karya syair putranya yang baru saja pulang mendalami ilmu sastra.
"Dengarkan karya syair putraku Al Amin," kata sang perrnaisun Zubaidah.
"Baik, silahkan, sahut Abu Nawas. AlAmin pun mulai membaca karya syairnya,
"Hai binatang yang duduk bersimpuh.
Rasanya tidak ada yang setolol kamu
Kamu seperti hidangan kinafah
Yang diolesi dengan minyak biji hardal
dan minyak sapi yang kental.
Seperti warna seekor kuda belang."
Begitu selesai mendengar syair tersebut Abu Nawas langsung bangkit dan
hendak berlalu dari tempatnya. "Kemana kamu, Abu Nawas?" tanya sang Raja
Harun Al Rasyid.
"Saya lebih suka balik ke penjara saja, dari pada mendengar syair macam
ini. Toh, sebentar lagi putramu ini pasti akan menyuruh polisi membawaku
ke sana," jawab Abu Nawas.
Raja tertawa terpingkal-pingkal rnendengar jawaban dari Abu Nawas itu.
Sementara sang permaisud Zubaidah hanya bisa duduk bengong. Kini ia
sadar dan yakin bahwa putranya Al Amin memang bodoh.